MbahKH Abdul Hamid - Pasuruan di Tokopedia ∙ Promo Pengguna Baru ∙ Cicilan 0% ∙ Kurir Instan.

Nama KH Abdul Hamid bagi warga Pasuruan sudah tidak asing lagi karena pengasuh Pesantren Salafiyah ini dikenal dengan keistimewaan dan karomahnya. Abdul Hamid begitu nama pria yang dilahirkan pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Abdul Hamid dibesarkan di tengah keluarga santri. Ayahnya, Kiai umar, adalah seorang ulama di Lasem, dan ibunya adalah anak Kiai Shiddiq, juga ulama di Lasem. Kiai Shiddiq adalah ayah KH Machfudz Shiddiq, tokoh Hamid sejak kecil dipersiapkan untuk menjadi kiai, dia mula-mula belajar Alquran dari ayahnya. Tiga tahun kemudian, Abdul Hamid menimba ilmu di pesantren kakeknya, KH Shiddiq, di Talangsari, Jember, Jawa Timur. Sejak kecil, sudah tampak tanda-tanda bahwa dia bakal menjadi wali dan ulama besar. Konon pada usia enam tahun, dia sudah bertemu dengan Rasulullah. Dalam kepercayaan yang berkembang di kalangan warga NU, khususnya kaum sufi, Rasulullah walau telah wafat sekali waktu menemui orang-orang tertentu, khususnya para wali. Bukan dalam mimpi saja, tapi secara nyata. Salah satu karomah Kiai Abdul Hamid yang dipercaya warga Pasuruan adalah bisa berada ditempat lain dengan wujud serupa. Hal ini terjadi saat Habib Baqir Mauladdawilah bertandang ke pesantrennya. Sang Habib yang pernah berguru dengan al-Ustadzul Imam Al-Habr al-Quthb al-Habib Abdulqadir bin Ahmad Bilfaqih diberikan ilmu untuk bisa melihat sesuatu yang gaib. Pada suatu kesempatan datanglah Habib Baqir menemui Kiai Abdul Hamid Pasuruan. Ketika itu di tempat KH Abdul Hamid banyak sekali orang yang datang untuk meminta doa atau keperluannya yang bertemu Habib Baqir merasa kaget. Ternyata orang yang terlihat seperti KH Abdul Hamid sejatinya bukanlah sang Kiai . Karena yang ditemuinya adalah sesosok gaib yang menyerupai. Kemudian Habib Baqir mencari di manakah sebetulnya KH Abdul Hamid yang asli berada. Setelah diselidiki dengan ilmu kanuragan Habib Baqir terkejut karena sang kiai tersebut tengah berada di Tanah Suci Mekkah. Karomah KH Abdul Hamid juga pernah ditunjukkan terhadap seorang Habib sepuh yang datang kepadanya, karena sang Habib menanyakan kemana sang Kiai pergi ketika digantikan oleh sesosok gaib yang menyerupainya. KH Hamid tidak menjawab, hanya langsung memegang Habib sepuh tersebut. Seketika itu kagetlah Habib sepuh tadi, melihat suasana di sekitar mereka berubah menjadi bangunan masjid yang sangat megah. Subhanallah, ternyata Habib sepuh tadi dibawa oleh KH Hamid mendatangi Masjidil Haram. Salah satu karomah lainnya yaitu ketika Asmawi, salah seorang santrinya harus melunasi utang kepada panitia pembangunan masjid yang sudah jatuh tempo. Besarnya cukup besar untuk ukuran waktu sekitar tahun 70-an. Dia tidak tahu dan mana uang sebanyak Itu bisa didapat dalam waktu singkat. Karenanya, dia hanya bisa menangis, malu kalau sampai ditagih. Akhirnya dia mengadukan hal tersebut kepada Kiai dengan lembut sang Kiai yang lantas menyuruh Asmawi menggoyang pohon kelengkeng yang tumbuh di halaman depan rumah Pak Kiai. Di sana ada dua pohon kelengkeng. “Kumpulkan daun-daun yang gugur itu dan bawa kemari,” kata Kiai menerima daun-daun kelengkeng itu, Kial Hamid memasukkannya ke dalam saku baju. Ketika ditarik keluar, di tangannya tergenggam uang kertas. Kemudian dia menyuruh Asmawi melakukan hal sama tapi pada pohon kelengkeng yang lainnya. Dengan cara yang sama pula, daun kelengkeng itu berubah menjadi uang kertas. Setelah dihitung Asmawi, jumlahnya Masih kurang Tiba-tiba datang seorang tamu menyerahkan uang tunai kepada Kiai Hamid, lalu uang itu diserahkan ke Asmawi. Lain lagi yang dialami Said Ahmad, santri lainnya. Dia justru seolah ingin menguji kewalian Kiai Hamid yang telah kesohor. Said Ahmad ingin tahu, apakah Kiai tahu bahwa dia ingin diberi makan olehnya. Ketika sampai di pesantren milik sang kiai, kebetulan saat salat lsya sudah masuk. Dia pun ikut salat berjamaah. Usai salat, dia tidak langsung pulang, melainkan menunggu sampai jamaah pulang semua. Lampu teras rumah Kiai Hamid pun sudah dipadamkan, pertanda pemilik rumah siap-siap beristirahat. Dengan demikian, dia pikir, niatnya berhasil, yaitu bahwa keinginannya untuk ditawari makan oleh Kiai tidak dia pun melangkahkan kaki meninggalkan masjid. Ternyata dari rumah Kiai Hamid ada yang melambaikan tangan kepadanya. Dengan langkah ragu, dia pun mendekatinya. Ternyata tuan rumah sendiri yang memanggilnya. “Makan di sini ya,” kata Kiai Hamid sambil senyum. Dia pun diajak masuk ke ruang tengah. Di sana hidangan sudah tersaji. “Maaf, lauknya seadanya,” kata Kiai santai. “Sampeyan tidak bilang-bilang, sih.” Said tersindir. Dan sejak itu dia percaya, Kiai Hamid adalah wali. Sumber -ahlussunahwaljamaahsms

DinastiIlkhan (1256-1335 M) yang didirikan oleh cucu Jengis Khan, Raja ke-7, Ghazan, juga seorang Muslim dan pada masanya, Ilkhan mencapai kejayaan. Amalan Bertemu Nabi Khidir Dari KH. Abdul Hamid Pasuruan Jul 23, 2020 - Advertisement - Portal Majalah Ibadah is an accurate and powerful News Portal, Magazine and News Blog with great
KH Achmad Qusyairi, lahir di dukuh Sumbergirang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah pada 11 Sya’ban 1311 H atau bertepatan pada 17 Februari 1894 M. Beliau adalah sosok ulama yang begitu alim. Masyarakat Pasuruan dan Glenmore Banyuwangi pun mengakuinya. Seorang wali Allah yang menjadi pembimbing umat, dan bak pohon rindang yang lebat buahnya. Setiap ada orang yang sowan kepada beliau pasti ada ilmu yang mengalir deras dari setiap perkataannya, sama sekali tidak medit pelit ilmu. Setelah berkontribusi terhadap dakwah Islam di Pasuruan, kala itu Kiai Achmad Qusyairi sempat menjadi buronan tentara Jepang lantaran pengaruhnya begitu kuat menggerakkan massa Islam dan diwacanakan akan dicalonkan sebagai Adipati Bupati Basuruan. Dari kabar tersebut menjadi alasan tentara Jepang mencari rekam jejak Kiai Achmad. Lalu Kiai Achmad untuk menghindari pencarian tersebut, beliau sempat tinggal di pedalaman pedesaan Kawasan Jember, hingga pada akhirnya menetap di Dusun Sepanjang Wetan, Kecamatan Glenmore, Banyuwangi, yang dahulu masih bernama Kecamatan Kalibaru. “Oreng gun norok akompol ben Kiaeh Achmad Qusyairi, tekka’a tak ngajih, apa pole ngajih ka model epon engak Kiaeh Qusyairi, aroa padeh bheih bik ngajih seseorang walau hanya sekadar ikut berkumpul dengan Kiai Acmad Qusyairi, apa lagi mengaji dengan orang yang modelnya seperti Kiai Acmad Qusyairi, meskipun tidak mengaji kepadanya, itu sama saja dengan mengaji” tutur KH Hadi bin Achmad Qusyairi dalam Haul KH. Achmad Qusyairi ke-47 di Glenmore. Begitu juga KH. Abdul Hamid, Pasuruan, menantu KH. Acmad Qusyairi. Orang hanya sekedar norok buntek mengikuti kemana Kiai Abdul Hamid pergi meskipun tidak mengaji selayaknya di pesantren, hal itu bisa dikatakan mengaji. Sebab kenapa? Tingkah laku kedua ulama tersebut baik Kiai Achmad Qusyairi dan Kiai Abdul Hamid adalah suatu pelajaran dan mengandung banyak ilmu yang begitu besar manfaatnya. Ceramah KH Hadi bin Achmad Qusyairi dalam acara Haul KH Achmad Qusyairi ke-47 di Glenmore, Channel Youtube Santri Milenial Indonesia “Haul KH Ahmad Qusyaeri Ke-47 di Ponpes As-Shiddiqi”, dipublikasikan pada 19 Juni 2019. Dalam historis pendidikannya, KH Achmad Qusyairi pernah nyantri kepada Syaikhona Kholil al-Bangkalani, Madura. Tidak diragukan lagi bagaimana kualitas keilmuan Kiai Kholil yang selama ini dikenal sebagai wali Allah dan guru para Kiai besar di tanah Jawa dan Madura. Maka dari itu, tidak heran jika Kiai Achmad Qusyairi pun menjadi sosok yang begitu alim dan teruji keilmuannya karena barokah para gurunya. Selain terkenal alim dan derajat ilmunya yang tinggi, Kiai Achmad juga dikenal sebagai ahli ibadah, mengawal sunnah Nabi, ahli ilmu falak astronomi dan juga sebagai seorang sufi. Hamid Ahmad, KH Achmad Qusyairi bin Shiddiq, Pasuruan Lembaga Informasi dan Studi Islam L’Islam, Juni 2017, hal 56. Kiai Qusyairi belajar ilmu falak semasa di Masjidil Haram kepada Syekh Muhammad Hasan Asy’ari bin Abdurrahman al-Baweani al-Fasuruani, seorang ahli ilmu falak waktu itu. Dinamakan al-Baweani karena beliau berasal dari pulau kecil bernama Bawean yang terletak di sebelah utara Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Terkadang nama beliau tidak ditambahkan al-Fasuruani. Burhanuddin Asnawi, Ulama Bawean dan Jejaring Keilmuan Nusantara Abad XIX – XX, Gresik LBC Press, September 2015, 45-46. Kiai Muhammad Hasan Asy’ari wafat dan dimakamkan di tanah Pasuruan. Maka dari itu Kiai Achmad Qusyairi juga ahli ilmu falak putra Indonesia dengan karyanya yang berjudul “Al-Jadawilul Falakiyah”. Kini naskah teks asli kitab Al-Jadawilul Falakiyah karangan Syekh Achmad Qusyairi berada di Leiden University, Belanda, Wawancara KH Musthafa Helmy, cucu KH Achmad Qusyairi, Agustus 2020. Kiai Achmad menjuluki Kiai Muhammad Hasan Asy’ari dengan julukan al-allamah al-falaki asy-syahir orang yang sangat alim, ahli falak dan terkenal. Beliau juga menyebutkan bahwa Syekh Asy’ari merupakan akhiru ahlir rashd ahli pengintai bulan yang terakhir. Begitulah pengakuan Kiai Achmad terhadap gurunya yang memang begitu ahli dalam bidangnya. Apa-apa yang kerap kali diamalkan oleh Kiai Achmad Qusyairi dalam keseharian hidupnya baik itu dalam segi kebiasaan dan hal lainnya juga ditiru dan diistiqomahkan oleh Kiai Hasan. Kiai Hasan Abdillah juga menerapkan sunnah-sunnah Nabi dalam hidupnya. Seperti halnya mengkonsumsi sedikit garam sebelum dan sesudah makan. Sama seperti halnya Kiai Achmad Qusyairi, dalam karya Hamid Ahmad dikatakan bahwa beliau bisa sembuh dari penyakit yang divonis oleh dokter cukup berat, berkat menerapkan sunnah Nabi Muhammad saw dengan mengkonsumsi sedikit garam sebelum dan sesudah makan. Tidak hanya soal tata cara makan, banyak sunnah-sunnah Nabi yang kerap kali diterapkan oleh Kiai Achmad Qusyairi juga ditiru oleh Kiai Hasan Abdillah, bahkan begitu istiqomah. Dalam buku Hamid Ahmad, KH Ahmad Qusyairi bin Shiddiq Pecinta Sejati Sunnah Nabi, tercatat bahwa ada putra Kiai Achmad yang melanjutkan sunnah seperti yang beliau lakukan dengan konsisten hingga akhir hidupnya, ia adalah KH Hasan Abdillah salah satu putra Kiai Achmad.Kebiasaan yang lain juga diceritakan oleh putra sulung Kiai Hasan Abdillah, sebagai berikut “Kebiasaan beliau KH. Hasan Abdillah itu, makan bersama, memulai makan dengan garam dan ditutup dengan garam, kalau ke kamar kecil selalu pakai peci, sholat ya berjama’ah, dan yang paling beliau tidak suka adalah berhutang, anak-anaknya semua dilarang berhutang, saya dulu dimarahin waktu kredit rumah sama beliau, terus saya dulu itu juga mau bikin bank berkreditan rakyat BBR sama teman-teman, buh! dimarahi sama abah, tidak dibolehin” tutur Kiai Musthafa Helmy. KH Musthafa Helmy, wawancara, Glenmore, 29 Agustus 2020. Adapun saksi yang turut mengakui kealiman dan keilmuan Kiai Hasan yang tidak jauh dari Kiai Achmad Qusyairi yakni saudara Kiai Hasan sendiri “Elmoh, akhlak Syekh Achmad Qusyairi, noron ka Kiaeh Hasan Abdillah se lebih shohih neka kera-kera parak antarah sangan polo Ilmu, akhlak, Syekh Achmad Qusyairi, nurun ke Kiai Hasan Abdillah yang lebih shohih kira-kira mendekati antara sembilan puluh,” tutur Kiai Hadi Achmad di acara haul Kiai Achmad Qusyairi. Ali Mursyid Azisi, alumnus Pondok Pesantren Minhajut Thullab, Glenmore, Banyuwangi, Jawa Timur
AbdulHamid Pasuruan dan Ijazah Wiridnya. 0 KH. Abdul Hamid Pasuruan, Kisah Wali May 04, 2017. Suatu ketika ada seseorang meminta nomer togel ke Kyai Hamid. Oleh Kyai Hamid diberi dengan syarat jika dapat togel maka uangnya harus dibawa kehadapan Kyai Hamid. Maka orang tersebut benar-benar memasang nomer pemberian Kyai Hamid dan menang.
Pasuruan l – KH Gus Muhamad Lukman cucu dari alm KH Abdul Hamid atau mbah Hamid yang kondang dipanggil KH Hamid Pasuruhan adalah tokoh ulama pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan, beliau adalah Gus Muhamad Lukman cucu KH Hamid Pasuruan, mengabdikan dirinya dalam pengembangan agama Islam dan juga memiliki rasa kepeduliannya sangat luar biasa kepada masyarakat di jawa timur khususnya di tanah kelahirannya kabupaten petinggi pengurus NU di seantero jawa timur yang tak kenal dengan sosok seorang Kyai kharismatik yang masih muda bernama Gus Muhamad Lukman cucu KH Hamid Pasuruan, tentu sudah pasti sangat banyak sekali alim ulama yang mengenalnya pasalnya siapa pun yang memandanginya akan luluh dengan pancaran sinar kharismatik dan kewibawaannya sebagai tokoh ulama muda. Apalagi jika seorang sedang gundah hatinya, begitu mendekat dan melihat seyumanya serta berjabat tangan dengan Kyai Gus Muhamad Lukman langsung seketika sirna, kerena berjabat tangan alim ulama seperti dengan sosok Ulama muda KH Gus Muhamad Lukman dapat menghilangkan rasa ujub yang semula bersemayam dalam dada . ” Sebab filosofi Gus Muhamad Lukman sebuah jabat tangan dengan sesama umat manusia mangandung arti persahabatan,,di dasari oleh rasa nasionalisme yang tinggi terhadap sesama anak bangsa demi menjaga ke utuhan NKRI ,begitu juga mencium tangan seorang guru alim ulama selain rasa hormat terhadap Kyai maupun seorang alim ulama juga dapat menentramkan hati laksana di tuntun dalam dekapan Rahman dan Rohim Ilahi Robbi.“Demikianlah sosok profil KH Gus Muhamad Lukman cucu KH Hamid pasuruan yang digambarkan oleh Haji Adi salah seorang warga nahdiyin NU di sampaikan kepada sejumlah awak media masa nasional”.Menurut Haji Adi warga nahdiyin yang merupakan sosok pejuang di saat pilpres dan juga menjadi salah satu ketua umum relawan Jokowi menegaskan bahwa ulama muda kharismatik KH Gus Muhamad Lukman merupakan cahaya terpendam calon pemimpin PBNU masa depan berasal dari Jawa Timur yan notabene tempat berdirinya sebuah organisasi ke agamaan terbesar di Indonesia yakni Nahdatul ualama NU.“Oleh karena itu,maka bagi kami warga Nahdiyin asal jawa timur sudah sepatutnya untuk memperjuangkan calon pemimpin PBNU kedepan yakni sosok ulama muda kharismatik KH Gus Muhamad Lukman yang merupakan tokoh ulama potensial kader NU dari Jawa Timur,” pungkasnya. Totok Pos terkaitAjak Pelaku Usaha untuk Turunkan Jumlah Kasus StuntingPartai Garuda Wasdeni alias Bodong Siap Maju Bakal CalegEntaskan Stunting perlu Campur Tangan Pihak LainBuka Job Fair secara Resmi, Bupati Imron Salah Satu Cara tekan Angka PengangguranProgram Mubeng, Pemkab Cirebon bagikan Bantuan Rutilahu dan SembakoHari BPR-BPRS Nasional 2023, Bupati Imron BPR harus Memberikan Kontribusi Nyata kepada Masyarakat
PASURUAN- KADENEWS.COM : Mohammad Nailur Rohman (31) alias Gus Amak cucu KH Abdul Hamid Pasuruan, mengalami kecelakaan di tol Gempol - Pasuruan (Gempas) KM 780.200/A, Senin (9/9/2019). Setelah kejadian, Gus Amak di RSUD Bangil. Informasi yang dihimpun, mobil Mitsubishi Pajero nopol N 1014 WA menghantam pembatas jalan lalu terguling dan masuk parit di Gempas.

Pasuruan, NU Online Jatim KH Muhammad Nailurrochman atau Gus Amak menyampaikan testimoni sosok KH Abdul Hamid Pasuruan saat Haul Masayikh bulanan yang dilaksanakan Layanan Digital untuk Nahdliyin Kamis 30/12/2021. Gus Amak merupakan salah satu cucu dari KH Abdul Hamid Pasuruan. Dalam kesempatan itu, Gus Amak menjelaskan bahwa auliya merupakan orang-orang yang berhasil mencintai Allah sekaligus dicintai Allah. “Kita untuk menunjukkan bukti cinta pada Allah saja masih sulit, apalagi mendapat respons cinta dari Allah. Maka orang-orang yang sudah dicintai Allah ini adalah sebuah maqom yang luar biasa dan butuh perjuangan mendapatkannya,” tutur Gus Amak. Lebih lanjut Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama PCNU Kota Pasuruan tersebut mengatakan, Kiai Hamid merupakan sosok yang sederhana. Hal ini berdasarkan pengakuan salah satu santri Kiai Hamid, KH Ihsan Ketintang Malang. “Saya pernah sowan ke beliau Kiai Ihsan. Beliau itu buka puasa hanya dengan makan telur setengah matang, kurma, dan kopi. Saat tanya mengapa tidak berbuka dengan nasi, beliau menjawab seperti itulah cara berbuka Kiai Hamid,” ujar Kepala Pesantren Bayt Al-Hikmah Kota Pasuruan tersebut. Menurut Gus Amak, sebagaimana dituliskan dalam buku “Percik-Percik Keteladanan Kiai Hamid” karangan KH Hamid Ahmad, ciri khas dari kakeknya itu merupakan seorang yang sangat tawadhu serta alim baik secara ilmu syari`at, maupun kanuragan. “Saya menyebut dua hal ini bersandingan karena kadang seseorang yang alim itu sulit tawadhu. Ini suatu pelajaran penting bahwa tawadhu dan kehebatan itu bisa berjalan beriringan,” katanya. Disampaikannya, kitab karangan Kiai Hamid yaitu Sullam At-Taufiq telah mendapat pujian dari KH Sahal Mahfudz. Kemampuan mengarang nadham dalam kitab, merepresentasikan keilmuan Kiai Hamid dalam menguasai kitab Juman kitab balaghah. Selain itu, keistimewaan lainnya adalah keistiqamahan untuk shalat berjamaah dan mengkhatamkan Al-Qur`an setiap sepekan sekali. Hal tersebut diceritakan langsung oleh KH Idris Hamid, ayah Gus Amak. “Keistiqamahan lainnya adalah membaca surah Al-fatihah 100 kali sehari. Saya mendapat cerita dari santri beliau yang langsung mendapat ijazah ini bahwasanya yang melanggengkan membacanya, maka akan menemukan keajaiban-keajaiban yang tersembunyi,” terang Gus Amak. Sebagai tamu undangan, Gus Amak mengaku sangat mendukung adanya kegiatan haul masayikh bulanan ini. Sebab, haul yang disesuaikan bulan wafat para ulama sekaligus mengulas biografinya menjadikan masyarakat semakin mengenal kiai-kiai nusantara.

\n\n \n\n\ncucu kh abdul hamid pasuruan
GusAbdul Aziz, cucu KH Abdul Hamid Pasuruan (kanan) bersama Gus Baha' di satu kesempatan. Tidak terasa, umat Islam sudah di penghujung bulan Sya'ban. Berarti tinggal menghitung hari memasuki bulan suci Ramadhan. Salah satu yang harus dilakukan oleh umat muslim adalah memulai menata niat dan membersihkan penyakit-penyakit yang masih

Hari ini, haul ke-39 almaghfurlah KH Abdul Hamid bin Abdullah Umar Mbah Hamid Pasuruan digelar. Sebagai bentuk rasa takdzim dan berharap kebaikan almaghfurlah, pesarean Mbah Hamid yang berada di tengah Kota Pasuruan tidak pernah sepi dari peziarah. Tidak sedikit santri dan sejumlah kalangan yang kini menjadi orang penting, ternyata berkesempatan bertemu fisik dengan almaghfurlah ini. Tentu saja, sejumlah kisah dan pengalaman mengiringi dari perjumpaan tersebut. KH Abdul Hamid lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah dan wafat 25 Desember 1985. Melewati pendidikan di Pesantren Talangsari, Jember, Pesantren Kasingan, Rembang, Jateng, Pesantren Tremas, Pacitan hingga menjadi pengasuh Pesantren Salafiyah, Pasuruan. Kesabarannya memang diakui tidak hanya oleh para santri, tapi juga oleh keluarga dan masyarakat serta umat Islam yang pernah mengenalnya. Sangat jarang dilihat marah, baik kepada santri maupun kepada anak dan istrinya. Kesabaran Kiai Hamid di hari tua, khususnya setelah menikah, sebenarnya kontras dengan sifat kerasnya di masa muda. Kiai Hamid adalah anak ketiga dari tujuh belas bersaudara, lima di antaranya saudara seibu. Hamid kecil dibesarkan di tengah keluarga santri. Ayahnya, Kiai umar, adaiah seorang ulama di Lasem, dan ibunya adalah anak Kiai Shiddiq, juga ulama di Lasem dan meninggal di Jember. Masa Kecil Kiai Shiddiq adalah ayah KH Machfudz Shiddiq, tokoh Nahdlatul Ulama, dan KH Ahmad Shiddiq, mantan Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama PBNU. Keluarga Hamid memang memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan dunia pesantren. Sebagaimana saudara-saudaranya yang lain, sejak kecil dipersiapkan untuk menjadi kiai. Anak keempat itu mula-mula belajar membaca al-Quran dari ayahnya, dan pada umur sembilan tahunmendapat ilmu fiqh dasar. Tiga tahun kemudian, cucu kesayangan itu mulai pisah dari orang tua untuk menimba ilmu di pesantren kakeknya, KH Shiddiq, di Talangsari, Jember. Konon, Hamid muda sangat disayang baik oleh ayah maupun kakeknya. Semasih kecil, sudah tampak tanda-tanda bahwa bakal menjadi wali dan ulama besar. Pada usia enam tahun bahkan dikisahkan sudah bertemu dengan Rasulullah. Dalam kepercayaan yang berkembang di kalangan warga NU, khususnya kaum sufi, Rasulullah walau telah wafat sekali waktu menemui orang-orang tertentu, khususnya para wali. Bukan dalam mimpi saja, tapi secara nyata. Pertemuan dengan Rasul menjadi semacam legitimasi bagi kewalian seseorang. Hamid muda mulai mengaji fiqh dari ayahnya dan para ulama di Lasem. Pada usia 12 tahun, akhirnya berkelana. Mula-mula belajar di pesantren kakeknya, KH Shiddiq, di Talangsari, Jember. Tiga tahun kemudian diajak sang kakek untuk pergi haji yang pertama kali bersama keluarga, paman serta bibinya. Tak lama kemudian pindah ke pesantren di Kasingan, Rembang. Di desa itu dan desa sekitarnya, Hamid belajar fiqh, hadits, tafsir dan lainnya. Pada usia 18 tahun, pindah lagi ke Pesantren Tremas, Pacitan. Konon, seperti dituturkan anak bungsunya yang kini menggantikannya sebagai pengasuh Pesantren Salafiyah, KH Idris bahwa pesantren itu sudah cukup maju untuk ukuran zamannya, dengan administrasi yang cukup rapi. Pesantren yang diasuh Kiai Dimyathi itu telah melahirkan banyak ulama terkemuka, antara lain KH Ali Ma’shum, mantan Rais Am PBNU. Dalam pandangan Kiai Idris, inilah pesantren yang telah banyak berperan dalam pembentukan bobot keilmuan Hamid muda. Di sana juga belajar berbagai ilmu keislaman. Sepulang dari pesantren itu, tinggal di Pasuruan, bersama orang tuanya. Di sini pun semangat keilmuannya tak pernah padam. Dengan tekun, setiap hari mengikuti pengajian Habib Ja’far, ulama besar di Pasuruan saat itu, tentang ilmu tasawuf. Menjadi Blantik Hamid remaja menikah pada usia 22 tahun dengan sepupunya sendiri, Nyai H Nafisah, putri KH Ahmad Qusyairi. Pasangan ini dikarunia enam anak, satu di antaranya putri.. Kiai Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan berkeluarganya tidak dengan mudah. Selama beberapa tahun harus hidup bersama mertuanya di rumah yang jauh dari mewah. Untuk menghidupi keluarganya, tiap hari mengayuh sepeda sejauh 30 kilo meter pulang pergi, sebagai blantik sepeda. Sebab, kata Kiai ldris, pasar sepeda waktu itu ada di Desa Porong, Pasuruan, 30 kilo meter ke arah barat Kota Pasuruan. Kesabarannya bersama juga diuji. Nafisah yang dinikahkan oleh orang tuanya selama dua tahun tidak patut tidak mau akur. Namun Kiai Hamid menghadapi dengan tabah. Anak pertama, Anas telah mengantar mendung di rumah keluarga muda itu. Terutama bagi sang istri, Nyai Nafisah yang begitu gundah, sehingga Kiai Hamid merasa perlu mengajak istrinya ke Bali sebagai pelipur lara. Sekali lagi Nyai Nafisah dirundung kesusahan yang amat sangat setelah bayinya yang kedua, Zainab, meninggal dunia pula, padahal umurnya baru beberapa bulan. Lagi-lagi kiai yang bijak itu membawanya bertamasya ke tempat lain. KH Hasan Abdillah, adik istri Kiai Hamid, menuturkan. Bahwa seperti layaknya keluarga, Kiai Hamid pernah tidak disapa oleh istrinya selama empat tahun. Tapi, kendati demikian hal itu tidak pernah sekalipun terdengar keluhan darinya. Bahkan sedemikian rupa dapat menutupinya sehingga tak ada orang lain yang mengetahui. Uwong tuo kapan ndak digudo karo anak utowo keluarga, ndak endang munggah derajate orang tua kalau tidak pernah mendapat cobaan dari anak atau keluarga, ia tidak lekas naik derajatnya, katanya suatu kali mengenai ulah seorang anaknya yang agak merepotkan. Kesabaran Kiai Hamid juga diterapkan dalam mendidik anak-anaknya. Menurut Kiai Idris, mereka tidak pernah mendapat marah, apalagi pukulan dari ayahnya. Ayahnya lebih banyak memberikan pendidikan lewat keteladanan. Nasihat sangat jarang diberikan. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sangat prinsip, shalat misalnya, Kiai Hamid sangat tegas. Merupakan keharusan bagi anak-anaknya untuk bangun pada saat fajar menyingsing, guna menunaikan shalat Subuh, meski seringkali orang lain yang disuruh membangunkan mereka, Kiai Hamid juga memberi pengajaran membaca al-Quran dan fiqih pada anak-anaknya di masa kecil. Namun, begitu mereka menginjak remaja, Kiai Hamid lebih suka menyerahkan anak-anaknya ke pesantren lain. Bukan hanya kepada anak-anak, tapi juga istrinya, Kiai Hamid memberi pengajaran. Waktunya tidak pasti. Kitab yang diajarkan pun tidak pasti. Bahkan, mengajar tidak secara berurutan dari bab satu ke bab berikutnya. Pendeknya, Kiai Hamid seperti asal comot kitab, lalu dibuka, dan diajarkan kepada istrinya. Dan lebih banyak, kata Kiai Idris, yang diajarkan adalah kitab-kitab mengenai akhlak, seperti Bidayah al-Hidayah karya Imam Ghazali, “Tampaknya yang lebih ditekankan adalah amalan, dan bukan ilmunya itu sendiri,” jelas Kiai Idris. Amalan dari kitab itu pula yang ditekankan Kiai Hamid di Pesantren Salafiyah. Kalau pesantren-pesantren tertentu dikenal dengan spesialisasinya dalam bidang-bidang ilmu tertentu – misainya alat gramatika bahasa Arab atau fiqh, maka Persantren Salafiyah menonjol sebagai suatu lembaga untuk mencetak perilaku seorang santri yang baik. Di sini, Kiai Hamid mewajibkan para santri shalat berjamaah lima waktu. Sementara jadwal kegiatan pesantren lebih banyak diisi dengan wirid yang hampir memenuhi jam aktif. Semuanya harus diikuti seluruh santri. Kiai Hamid sendiri, tidak banyak mengajar, kecuali kepada santri tertentu yang dipilih sendiri. Selain itu, khususnya di masa akhir kehidupannya, hanya mengajar sepekan sekali untuk umum. Mushala pesantren dan pelatarannya setiap Ahad selalu penuh oleh pengunjung untuk mengikuti pengajian selepas shalat Shubuh. Mereka tidak hanya datang dari Pasuruan, tapi juga Malang, Jember, bahkan Banyuwangi, termasuk Wali Kota Malang waktu itu. Yang diajarkan adalah kitab Bidayah al-Hidayah karya al-Ghazali. Konon, dalam setiap pengajian, Kiai Hamid hanya membaca beberapa baris dari kitab itu. Selebihnya adalah cerita tentang ulama masa lalu sebagai teladan. Tak jarang, air matanya mengucur deras ketika bercerita. Disuguhi Kulit Roti Kiai Hamid memang sosok ulama sufi, pengagum imam Al-Ghazali dengan kitab-kitabnya lhya Ulum ad-Din dan Bidayah al-Hidayah. Tapi, corak kesufiannya bukanlah yang menolak dunia sama sekali. Konon, memang selalu menolak diberi mobil Mercedez, tapi mau menumpanginya. Bangunan rumah dan perabotannya cukup baik, meski tidak terkesan mewah. Kiai Hamid gemar mengenakan baju dan bersorban serba putih. Cara berpakaian maupun penampilannya selalu terlihat rapi, tidak kedodoran. Pilihan pakaian yang dipakai juga tidak bisa dibilang berkualitas rendah. “Berpakaianlah yang rapi dan baik. Biar saja kamu di sangka orang kaya. Siapa tahu anggapan itu merupakan doa bagimu,” katanya suatu kali kepada seorang santrinya. Namun, Kiai Hamid bukanlah orang yang suka mengumbar nafsu justru berusaha melawannya. Hasan Abdillah bercerita, suatu kali Kiai Hamid berniat untuk mengekang nafsunya dengan tidak makan nasi tirakat. Tetapi, istrinya tidak tahu itu. Kepadanya lalu disuguhkan roti. Untuk menyenangkannya, Kiai Hamid memakan roti itu, tapi tidak semuanya, melainkan kulitnya saja. “O, rupanya dia suka kulit roti,” pikir istrinya. Esoknya ia membeli roti dalam jumlah yang cukup besar, lalu menyuguhkan kulitnya saja. Kiai Hamid tertawa Aku bukan penggemar kulit roti. Kalau aku memakannya kemarin, itu karena aku tirakat,” ujarnya. Konon, berkali-kali Kiai Hamid ditawari mobil Mercedez oleh H Abdul Hamid, orang kaya di Malang. Tapi, selalu menolaknya dengan halus. Dan untuk tidak membuatnya kecewa, Kiai Hamid mengatakan akan menghubunginya sewaktu-waktu membutuhkan mobil itu. Kiai Hamid memang selalu berusaha tidak mengecewakan orang lain, suatu sikap yang terbentuk dari ajaran idkhalus surur menyenangkan orang lain seperti dianjurkan Nabi. Misalnya, jika bertamu dan sedang berpuasa sunnah, selalu dapat menyembunyikannya kepada tuan rumah, sehingga tidak merasa kecewa. Selain itu, selalu mendatangi undangan, di mana pun dan oleh siapa pun. Selain terbentuk oleh ajaran idkhalus surur, sikap sosial Kiai Hamid terbentuk oleh suatu ajaran yang dipahami secara sederhana mengenai kepedulian sosial Islam terhadap kaum dluafa yang diwujudkan dalam bentuk pemberian sedekah. Kiai Hamid memang bukan ahli ekonomi yang berpikir secara lebih makro. Walau begitu, dapat memperkirakan, sikap sosialnya bukan sekadar refleksi dari motivasi keagamaan yang egoistis, dalam arti hanya untuk mendapat pahala, dan kemudian merasa lepas dari kewajiban. Hal itu menunjukkan betapa ajaran sosial Islam sudah membentuk tanggung jawab sosial dalam dirinya. Ajaran Islam, tanggung jawab sosial mula-mula harus diterapkan kepada keluarga terdekat, kemudian tetangga paling dekat dan seterusnya. Urut-urutan prioritas demikian tampak pada Kiai Hamid. Kepada tetangga terdekat yang tidak mampu, konon juga memberikan bantuan secara rutin, terutama bila mereka sedang mempunyai hajat, apakah itu untuk mengawinkan atau mengkhitan anak. H Misykat yang mengabdi hingga Kiai Hamid wafat bercerita bahwa bila ada tetangga yang sedang punya hajat, Kiai Hamid memberi uang Rp plus 10 kilogram beras. Islam mengajarkan, hari raya merupakan hari di mana umat Islam dianjurkan bergembira sebagai rasa syukur setelah menunaikan ibadah puasa sebulan penuh. Menjelang hari raya, sebagai layaknya seorang ulama, Kiai Hamid tidak menerima hadiah dan zakat fitri. Ditulis ulang dari Biografi KH Abdul Hamid Pasuruan Jawa Timur

Jl KH Abdul Hamid gang Vlll-14, Kebonsari, Panggung Rejo, Kebonsari, Panggungrejo, Kota Pasuruan, Jawa Timur. Telepon: (0343) 421474. Kode Pos: 67116 . Data pesantren lebih lengkap per propinsi dan kabupaten/kota dapat dicek di Untuk berpartisipasi memperbarui informasi ini, silakan mengirim email ke redaksi@laduni.id.
Lasem merupakan wilayah di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Di Lasem cukup banyak orang dari bangsa China yang sukses berdagang. Selain itu, banyak juga dari Lasem lahir tokoh-tokoh ulama kharismatik, salah satunya KH Abdul Hamid. KH Abdul Hamid atau lebih dikenal Mbah Hamid lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang Jawa Tengah. Ayahnya bernama Abdullah bin Umar seorang tokoh Islam yang rajin dan taat beragama. Sedangkan ibunya bernama Raihannah, putri dari Kiai Shiddiq. Masa Kecil Berdasarkan buku KH Hasyim As’ari dan KH Abdul Hamid Bapak NU Kita karangan Abdullah Shodiq dan Percik-Percik Keteladanan KH Abdul Hamid karangan Hamid Ahmad, disebutkan nama kecil KH Abdul Hamid adalah Abdul Mu'ti atau dipanggil Dul. Ia adalah anak keempat dari 12 bersaudara yang dilahirkan dari rahim Nyai Raihannah. Mu'thi kecil bukanlah anak manis yang sehari-harinya diam di rumah, melainkan tembuh sebagai anak yang lincah, extrovert dan nakal. Meskipun begitu, Mu'thi rajin membantu orang tuanya. Dalam usianya yang masih kecil, ia dididik oleh ibunya dan membiasakan shalat lima waktu berjamaah. Bahkan, saat Mu'thi ketinggalan shalat berjamaah, ia menangis sehingga sang ibu mengulangi shalatnya dan berjamaah bersamanya. Mu'thi juga sering disuruh ibunya membawakan oleh-oleh untuk disampaikan kepada gurunya dan ia merasa senang sekalipun oleh-olehnya sederhana. Hal ini menunjukkan bahwa masa kecil Mu'thi bersih dari sifat sombong. Pada saat itu di Lasem memiliki ulama besar yang disegani masyarakat, yakni Kiai Ma'shum Mbah Ma'shum, Kiai Baidhowi, dan Kiai Muhammad Siddiq. Masa Pendidikan Pada usia tujuh tahun, Mu'thi dididik dan dibimbing sendiri oleh ayahnya dalam belajar Al-Qur'an dan dasar hukum Islam. Pada usia tujuh tahun itu pula ia sudah hafal nadham balaghah Jawahir Al-Maknum. Kemudian dalam usia sembilan tahun ia sudah mulai menghafalkan kitab gramatika bahasa dan sastra Arab Alfiyah Ibnu Malik yang juga dengan bimbingan langsung dari ayahnya. Sebagai orang yang taat beragama, ayah maupun ibunya memang mengharapkan agar anaknya bisa menjadi orang yang berbudi luhur di kemudian hari. Pada usia 12 atau sekitar tahun 1926-1927, ia dipondokkan ke Pesantren Kasingan Rembang. Pesantren ini diasuh oleh KH Kholil bin Harun, mertua KH Bisri Musthofa. Di Pesantren Kasingan ia mendalami ilmu gramatika bahasa dan sastra Arab seperti Ilmu Nahwu, Shorof, Balaghah dan Arudh selama kurang lebih 1,5 tahun. Pada usia 13, ia diperintah ayahnya dan mengabdi kepada kakeknya Kiai Muhammad Shidiq Mbah Siddiq di Jember, Jawa Timur. Dikisahkan, pada saat Mu'thi berada di rumah kakeknya Mbah Shiddiq tiba-tiba datanglah Rasulullah SAW dan saat itu ia sedang bersama kakeknya. Rasulullah SAW bertanya kepada Mbah Shiddiq, "Siapakah anak ini?" Mbah Shiddiq menjawab "Ini cucu saya." Kira-kira dua tahun kemudian, Rasulullah SAW datang kembali dan berpesan kepada Mbah Shiddiq supaya cucunya yang bernama Abdul Hamid diajak pergi haji. Kala itu, Abdul Hamid berusia 15 tahun, diajak Mbah Shiddiq menunaikan ibadah haji. Konon ketika ziarah ke makam Rasulullah SAW mereka bertemu muka dengan Rasulullah SAW dan sempat bersalaman. Keduanya juga mencium tangan Rasulullah SAW, bukan dalam keadaan tidur. Setelah pulang dari ibadah haji di Makkah, Kiai Hamid melanjutkan belajarnya di Pondok Pesantren Tremas yang didirikan oleh Kiai Manan. Pada saat itu Pesantren Tremas diasuh oleh Kiai Dimyati bin Abdullah bin Manan. Mula-mula pada saat di Pondok Tremas Kiai Hamid hidup prihatin karena kiriman ayahnya hanya cukup untuk makan nasi tiwul. Celakanya, lokasi warung langganan Hamid jauh dari pondok. Apa boleh buat kaki melangkah setiap hari dengan memakai celana panjang dan bersepatu persis halnya orang berangkat ke kantor. Sepatunya disemir dengan mengkilap. Lima tahun di sana, ia ditunjuk sebagai lurah pondok. Kala itu ia sekurun waktu dengan Kiai Abdul Ghofur Pasuruan, Kiai Harun Banyuwangi, dan Kiai Masduki Lasem. Selain sebagai lurah pondok, Kiai Hamid muda juga mengajar Ilmu Fiqih, Hadits, Tafsir dan sebagainya. Sehingga ia pun mulai mendapatkan bisyarah dan tidak memerlukan lagi kiriman dari orang tuanya, setidaknya tidak perlu makan nasi tiwul. Adapun perubahan nama Abdul Mu'thi menjadi Abdul Hamid dalam hal ini ada dua versi. Menurut buku karya Hamid Ahmad disebutkan, "Begini orang-orang itu banyak yang memanggilku Haji Hamid atau Kiai Hamid daripada orang-orang keliru lebih baik aku saja yang ngalah namaku diubah menjadi Hamid. Namun, tidak jelas kapan nama itu berubah," kata Kiai Hamis saat wawancara KH Zaki Ubaid. Sedangkan menurut buku karya Abdullah Shodiq nama itu berubah ketika ia mondok ke Kasingan Rembang sekitar usia 12-13 tahun. Kiai Hamid Menikah Hamid menikah di usia 22 tahun dengan sepupunya sendiri yakni Nyai H Nafisah bin KH Ahmad Qusyairi bin KH Muhammad Shiddiq. Pernikahan mereka berlangsung pada hari Kamis 12 September 1940 M. Disebutkan dalam undangan akad nikah dilangsungkan di Masjid Jami Pasuruan pukul WIB, kemudian dilanjutkan walimah pada pukul WIB. Namun, hal ini tidak sesuai rencana karena mempelai pria terlambat datangnya. Terpaksa acara walimah dimulai saja meski tanpa kehadiran mempelai pria. Baru pada pukul WIB, rombongan yang ditunggu datang juga. Akibatnya, para tamu sudah pulang dan akad nikah disaksikan oleh beberapa keluarga saja. "Kok cek telate? Kok datang telat?" tanya KH Achmad Qusyairi kepada Mbah Ma'shum selaku pemimpin rombongan dari Lasem. "Anu, takjak Saya ajak mampir-mampir ziarah ke makam Sunan Ampel, Sunan Bonang, dan Sunan Drajat," jawab Mbah Ma'shum. "Lha manten pengantin kok diajak ziarah?" ujar KH Akhmad Qusyairi. Dari perkawinan ini mereka dikaruniai lima orang anak, yakni Muhammad Nu’man, Muhammad Nasih, Muhammad Idris, Anas, dan Zainab. Dua yang disebut terakhir meninggal sewaktu mereka masih kecil. Kiai Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan keluarganya dengan tidak mudah. Selama beberapa tahun ia harus hidup bersama mertuanya di rumah yang jauh dari mewah. Sedangkan untuk menghidupi keluarganya, tiap hari ia mengayuh sepeda sejauh 30 kilometer pulang pergi, sebagai blantik sepeda. Sebab, kata Kiai ldris, pasar sepeda waktu itu ada di Desa Porong, Pasuruan, 30 kilometer ke arah barat Kota Pasuruan. Kendati demikian tidak pernah sekalipun terdengar keluhan darinya. Bahkan ia sedemikian rupa dapat menutupinya sehingga, tak ada orang lain yang mengetahui. "Uwong tuo kapan ndak digudo karo anak utowo keluarga, ndak endang munggah derajate Orang tua kalau tidak pernah mendapat cobaan dari anak atau keluarga, dia tidak lekas naik derajatnya," katanya suatu kali mengenai ulah seorang anaknya yang agak merepotkan. Kesabaran Kiai Hamid juga diterapkan dalam mendidik anak-anaknya. Menurut Kiai Idris, mereka tidak pernah mendapat marah, apalagi pukulan dari ayahnya. Ayahnya lebih banyak memberikan pendidikan lewat keteladanan. Nasihat sangat jarang diberikan. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sangat prinsip, shalat misalnya, Kiai Hamid sangat tegas. Setelah beberapa bulan setelah menikah, Kiai Hamid diperintah oleh KH Ahmad Qusayri menggantikan kedudukannya sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah. Sedangkan KH Ahmad Qusayri pindah ke Glenmore Banyuwangi, mengajar dan mendirikan pesantren sendiri. Kiai Hamid memang sosok yang rajin belajar. Ia sering membeli kitab untuk dipelajari sendiri. Bahkan, setelah berkeluarga di Pasuruan, ia masih mengaji kepada Habib Ja'far bin Syichan Asegaf, seorang tokoh ulama yang sudah terkenal waliyullah. Menurut beberapa riwayat, sewaktu berada di Pasuruan Kiai Hamid mempunyai rutinan yakni setiap sore menghadiri pertemuan pengajian dengan metode mudzakarah yang diselenggarakan oleh Habib Ja'far bin Syichan pukul WIB. Dalam pengajian tersebut dihadiri oleh para ulama yang spesifik membahas diniyah ini, dipergunakan kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Ghozali dalam hal ini Kiai Hamid sering ditunjuk oleh Habib Ja'far sebagai juru bicara untuk menyampaikan kesimpulan aplikasi masalah dari beberapa poin kalimat. Berkat kumpul dengan para ulama terutama Habib Ja'far kewalian Kiai Hamid mulai tampak, meskipun sebelum bertemu Habib Ja'far kewalian Kiai Hamid sudah ada. Dalam artikel NU Online Jatim, Mengenal Lebih Dekat Sosok Mbah Hamid Pasuruan, diceritakan bahwasnnya KH Abdul Hamid Pergi ke Baghdad setiap tahun. Bermula dari kisah yang dialami langsung oleh Kiai Masyhudi, Sanan Kulon, Blitar, yang diceritakan sekitar tahun 2007 hingga 2008 sebelum wafat. Sebelumnya kisah ini tidak pernah diceritakan ke siapa pun, hal itu atas permintaan Kiai Hamid sendiri ketika masih hidup. Alkisah, di awal tahun 80-an Kiai Masyhudi melaksanakan ibadah haji, pada saat shalat Jumat di Masjidil Haram. Tanpa sengaja berkenalan dengan seorang syekh dari Bagdad yang bernama Syekh Hasan. Mengingat keduanya memang alim dan fasih, perkenalan berbincangan menjadi akrab diliputi kehangatan dalam bahasa Arab. Kejanggalan terjadi saat Kiai Masyhudi mengenalkan bahwa dirinya berasal dari Jawa Timur. Syekh Hasan bertanya yang jika di Indonesiakan kurang lebih begini, "Apakah Anda kenal dengan Kiai Abdul Hamid Pasuruan?" Kiai Masyhudi agak kaget dan balik bertanya "Beliau itu guru kami yang masyhur kealimannya. Ya Syekh Hasan. Dari mana anda mengenal Kiai Hamid?" Ternyata jawaban Syekh Hasan lebih mengagetkan lagi, yang intinya bahwa ia kenal baik dengan Kiai Abdul Hamid Pasuruan, sebab sang kiai selalu hadir pada acara haul Syekh Abdul Qodir Jaelani di Bagdad. Tidak hanya itu, saat di Bagdad Kiai Hamid selalu bermalam di rumah Syekh Hasan ini rutin setiap tahun. Singkat cerita, selepas shalat Jumat sebelum keduanya berpisah, Syekh Hasan mengakhiri percakapannya dengan menitipkan salam kepada Kiai Hamid, yang intinya Syekh Hasan menunggu kedatangan Kiai Hamid pada haul Syekh Abdul Qodir tahun depan di rumahnya di Baghdad. Sesampainya di Tanah Air, karena amanah titipan salam Syekh Hasan, Kiai Masyhudi sowan langsung kepada Kiai Hamid. Baru sampai di depan rumah, sang tuan rumah langsung keluar mempersilakan Kiai Masyhudi masuk, seolah sudah tahu maksud kedatangan tamunya. Bahkan Kiai Hamid mendahului menyapa dengan berbisik ke telinga Kiai Masyhudi, "Nak Masyhudi, jangan cerita ke siapa-siapa ya kalau bertemu Syekh Hasan. Salam sudah saya terima, mohon jangan cerita siapa-siapa." Setelah Kiai Hamid wafat, Kiai Masyhudi menyampaikan kisah ini kepada salah satu menantu Kiai Idris putra Kiai Hamid agar menanyakan langsung ke Kiai Idris Hamid, apakah dahulu abahnya setiap tahun selalu pergi ke Baghdad? Namun putra Kiai Hamid itu menjelaskan, bahwa abahnya belum pernah pergi jauh ke mana-mana, kecuali pada saat melaksanakan haji. Subhanallah, karamahnya para wali. Memang, dalam buku Ziarah Wali Kiai Hamid Pasuruan dan Tradisi Islam Nusantara karangan Dr. Badruddin, diceritakan karamah Mbah Hamid weruh sakdurunge winarah Tahu sebelum kejadian. Diceritkan, suatu ketika ada seorang tamu dari luar kota sowan kepada Kiai Hamid. Seperti biasa para tamu memberikan amplop atau uang kepada Kiai Hamid sebagai bentuk penghormatan atau dikenal dengan istilah 'salam templek'. Orang yang sowan ingin memberikan uang sebesar 10 ribu rupiah kepada Kiai Hamid. Namun, karena terburu-buru, dia belum sempat menukarkan uang sehingga masuk ke ndalem Kiai Hamid dia mempunyai selembar uang 10 ribu rupiah. Rencananya uang 10 ribu rupiah diberikan kepada Kiai Hamid dan sisanya dibuat ongkos pulang ke daerahnya. Dia mencoba menukarkan uang kepada para tamu di sampingnya, tetapi para tamu tidak ada yang mempunyai uang pecahan 10 ribu rupiah. Tiba-tiba Kiai Hamid keluar untuk menemui para tamu, termasuk orang tadi. Semua tamu bergegas sowan dan duduk di depan Kiai Hamid. Setelah selesai semua tamu berpamitan kepada Kiai Hamid, termasuk orang itu. Mungkin karena orang itu gugup selembar uang 20 ribu rupiah langsung diberikan kepada Kiai Hamid. Sebelum orang itu berpaling Kiai Hamid merogoh sakunya, lalu mengatakan kepada orang tersebut, "Ini kembaliannya 10 ribu rupiah." Orang tersebut pun langsung bengong. Umat Menangis Dalam buku Percik-percik KH Abdul Hamid karangan Hamid Ahmad, juga disebutkan Mbah Hamid wafat pada hari Sabtu 25 Desember 1982 M tepat pada pukul WIB atau dini hari. Ia mengembuskan napas terakhirnya pada usia 70 tahun dalam hitungan Hijriah. Seorang tokoh besar, tokoh panutan meninggalkan umatnya. Inalilahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Kabar pun segera menyebar lewat radio, dari mulut ke mulut, dan dari telepon ke telepon. Kala itu umat datang berbondong-bondong untuk melayat ke rumah duka sejak pagi. Mereka berasal dari berbagai penjuru. Umumnya seperti tidak percaya Kiai Hamid wafat. Melihat bayaknya pelayat keluarga tidak mau mengambil risiko, khawatir keranda rusak karena bakal jadi rebutan, pelayat. Menjelang ashar keranda di bawa ke masjid. Keranda itu berjalan dari satu tangan ke tangan yang lainnya karena saking padatnya pelayat, sehingga tidak bisa berjalan. Terjadilah tarik menarik keranda yang hendak keluar lewat gerbang barat atau timur. Konon, dari rumah ke masjid dibutuhkan waktu hingga dua jam. Dilaporkan jamaah yang menyalati melebar tidak hanya sampai masjid dan alun-alun, tetapi terus ke timur hingga perempatan PLN sekitar 100 meter dan memenuhi jalan niaga hingga ke ujung utara dan ruas-ruas jalan Nusantara sepanjang 1 kilometer. KH Ali Ma’shum bertindak sebagai imam shalat. Setelah shalat Asar Kiai Hamid disemayamkan di kompleks makam sebelah barat Masjid Jami Al-Anwar Pasuruan. Posisi makamnya di antara makam Habib Ja’far bin Syichan Assegaf guru KH Achmad Qusyairi mertua dan KH Ahmad Sahal ipar. Dalam buku Ziarah Wali Kiai Hamid Pasuruan dan Tradisi Islam Nusantara karangan Dr. Badruddin, di sebutkan bahwasnnya keberadaan makam Kiai Hamid membawa berkah terhadap kemakmuran masjid dan pedagang di sekitar makam. Setiap hari makam Kiai Hamid tidak pernah sepi dari peziarah lokal atau luar kota. Pada umumnya para peziarah Walisongo Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat tidak pernah melewatkan kesempatan untuk ziarah ke makam KH Abdul Hamid. Tidak cuma itu, semenjak ada makam KH Abdul Hamid setiap malam Jumat Legi kawasan sekitar masjid dan alun-alun Kota Pasuruan menjadi ramai. Mokhamad Faishol, aktivis NU di Pasuruan. Ungkapini.. Gus Amak (Cucu KH Abdul Hamid Pasuruan) - Demi Merajut KeIndonesiaan. @achmad thida chanel, #ceramah, #nahdlatululama, #islam, #indonesia, #dak - Kenali Kyai Hamid Dan Keturunan Kyai Hamid Pasuruan! Anda pastinya telah melakukan banyak hal dari pagi hingga malam. Namun, masih ada hal lain yang ternyata perlu Anda lakukan. Tentu saja, melakukan kegiatan yang berguna dengan membaca kisah dari beberapa tokoh besar yang mempunyai peran penting. Hal ini dapat membuat Anda ikut termotivasi untuk beragam hal yang sempurna. Tidak hanya tokoh perjuangan kemerdekaan saja yang mempunyai peran penting dalam beragam macam hal. Yang berjuang dalam agama juga menjadi tokoh yang harus Anda ketahui dengan baik. Apalagi untuk beberapa orang yang belum mendapatkan pencerahan dari segi meneladani tokoh yang ada. Salah satunya adalah Kyai Haji Abdul Hamid yang dikenal dengan akhlak mulianya. simak juga tentang amalan Kyai Hamid Pasuruanketurunan Kyai Hamid PasuruanBiografi Kyai Haji Abdul Hamid Sebelum mengenal lebih banyak hal lagi mengenai keturunan Kyai Hamid Pasuruan. Maka, hal yang harus Anda kenali lebih dulu adalah ayahnya. Penting sekali halnya untuk tau beragam kisah menarik mengenai Kyai Hamid yang dipercaya sebagai wali Allah. Abdul Hamid bukan merupakan nama aslinya. Pria kelahiran bulan November ini juga bukan berasal dari Pasuruan. Memang benar halnya kalau ada banyak orang yang mengenalnya dengan nama belakang Pasuruan. Namun, bukan berarti ia adalah salah satu orang yang berasal dari Pasuruan. Nama ini dikenal dengan baik karena ada banyak kegiatan agama yang ia lakukan di tempat ini. Tentu saja, Kyai Hamid lahir di Jawa Tengah. Lebih tepatnya pada desa Dukuh Sumurkepel yang berlokasi di Desa Sumber Gerang. Ia lahir pada tanggal 22 November 1914 dimana Indonesia masih menjadi kekuasaan negara Belanda. Nama aslinya adalah Abdul Mu'thi yang merupakan putra dari pasangan terhormat. Banyak orang yang merasa segan dengan ayah dan juga ibunya. Keduanya merupakan bagian dari keluarga ulama. Ayahnya sendiri adalah Kyai Haji Abdullah bin Kyai Haji Umar. Lalu, ibunya sendiri adalah Nyai Raihanah binti Kyai Haji Shiddiq. Tentunya, tidak ada orang yang menyangka kalau ia akan tumbuh dewasa menjadi seseorang berakhlak mulia. Apalagi jika mengingat masa kecil yang terkenal akan kenakalannya. Ia juga mempunyai nama panggilan bedudul karena terlalu nakal. Banyak sekali orang yang ia isengi untuk mengisi waktu luang dimana semuanya adalah masyarakat Tionghoa. Bahkan, tidak jarang ia harus menyamar sebagai seorang wanita hanya untuk bersembunyi saja. Cerita menarik ini sangat penting untuk Anda baca sebelum tau beberapa keturunan kyai Hamid Pasuruan sendiri. Ia tidak hanya suka menganggu orang lainnya dalam beragam macam hal. Ia juga suka bermain dan tidak pernah berada di rumah. Kapanpun ada orang yang ingin bertemu dengan Abdul Mu'thi ini. Pastinya, tidak perlu datang ke rumahnya. Ia sudah pasti sedang bermain sepak bola atau layang-layang. Karena kenakalannya ini, pada usia 12 tahun, ia dikirim ke pesantren. Pondok pesantren Kasingan menjadi tempatnya untuk belajar agama dan mengurangi kenakalan. Lalu, pindah ke pesantren Tremas karena mempunyai kualitas yang lebih baik. Sekitar usia lima belas tahun, ia kemudian menunaikan ibadah haji karena diajak oleh kakeknya. Ia mendapatkan pengalaman berjumpa dengan Rasulullah sehingga kakeknya segera menjodohkannya dengan Nafisah. Perjodohan ini tidak langusng menikah. Ia masih melanjutkan banyak perjalanan agama dalam pesantren ini hingga mengisi pengajian. Ada total 12 tahun yang membuat pembelajaran agamanya tidak perlu diragukan. Kehidupan Pernikahan Kyai Hamid Pasuruan Saat memutuskan untuk menikahi Nafisah pada umur kedua puluh dua tahun, status Kyai Hamid sepenuhnya berubah. Tentu saja, meski keturunan Kyai Hamid Pasuruan masih belum ada, ia telah menjadi seorang kepala rumah tangga untuk istrinya. Kehidupan yang ia jalani bersama istrinya tentunya bukanlah hal yang mudah. Anda salah saat berpikir bahwa mereka akan hidup berkecukupan dan bahagia. Hal ini dikarenakan Mbah Hamid harus menghadapi kerasnya mencari nafkah untuk istrinya. Hal ini dapat Anda buktikan melalui suatu kejadian yang pastinya pernah terlintas di telinga Anda. Benar sekali, hal tersebut adalah mengayuh sepeda sejauh 30 kilometer setiap harinya. Jarak ini tentunya bukanlah jarak yang terbilang dekat. Sebaliknya, semua dari Anda tentunya akan merasa lelah saat menempuh jarak sejauh itu hanya dengan sepeda. Kyai hamid yang saat itu tinggal di rumah pamannya juga harus hidup jauh dari kemewahan. Hal ini dikarenakan yang ada hanya rumah yang sederhana dan hidup yang sederhana pula. Akan tetapi, ia tetap sabar dan tidak mengeluh. Selain ujian dari ekonomi, ada hal lain yang membuat tokoh dengan nama kecil bedudul ini harus tetap sabar. Benar sekali, hal tersebut adalah sikap istrinya pada dua tahun pernikahan yang tidak menurut. Istrinya kerap kali melawan dan bersikap yang tidak sepantasnya hingga akhirnya keturunan Kyai Hamid Pasuruan yang pertama lahir. Akan tetapi, ujian kembali datang saat anak pertamanya lahir ke dunia ini. Beberapa dari Anda tentunya mengetahui ujian yang dihadapi oleh tokoh ini. Jelas saja, hal ini dapat terjadi mengingat tokoh ini merupakan salah satu ulama terkenal dalam bidang agama. Inilah Keturunan Kyai Hamid Pasuruan Benar sekali, cobaan kali ini merupakan cobaan yang sangat berat mengingat tokoh dengan nama lahir Abdul Mu'thi ini harus merelakan anaknya. Benar sekali, anak pertama yang diberikan nama Anas ini meninggal dunia. Hal ini tentunya memberikan guncangan yang besar pula pada istrinya Nafisah. Ia terus merasa sedih hingga Kyai Hamid mengajaknya liburan ke Bali untuk melupakan rasa sedih. Akan tetapi, ujian yang sama kembali dihadapi oleh mereka saat merawat anak keduanya. Anak yang diberikan nama Zainab berpulang ke pangkuannya dalam usia yang baru beberapa bulan. Hal ini tentunya jauh lebih menyakitkan mengingat anak tersebut pernah mereka rawat. Akan tetapi, Kyai Hamid dengan tegarnya kembali merelakan dan menghibur istrinya dengan merencakan perjalanan liburan berdua. Hingga akhirnya saat ini, ia dikarunia lima putra dan satu putri yang mewarnai kehidupan rumah tangganya. Saat ini, hanya tersisa tiga yang masih hidup. Benar sekali, ketiga anak tersebut adalah H. Nu'man, H. Nasikh serta H. Idris. Menurut nereka, sosok ayahnya merupakan seseorang yang sangat sabar baik dalam mendidik dan memghadapi masalah yang terus berdatangan dalam hidup ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan pernyataan dari keturunan Kyai Hamid Pasuruan ini, mengenai ayahnya yang tidak pernah ringan tangan. Idris mengatakan bahwa Mbah Hamid tidak pernah sekalipun memukulnya meski dirinya sangat nakal. Akan tetapi, didikan yang tegas juga dilakukan agat mereka berada dalam jalan benar. simak juga tentang gus miek ceramah Beberapa hal yang ada sebelumnya merupakan hal yang harus Anda ketahui mengenai keturunan Kyai Hamid Pasuruan hingga biografinya secara singkat. Kami pastikan saat ini semua dari Anda tentunya telah mengetahui hal ini dengan baik, bukan? Sebagai tuan rumah kita harus ikut Gupuh, Suguh dan Lungguh. Gupuh artinya kita ikut menjadi panitia menyiapkan semuanya. Suguh ya kita ikut menyiapkan konsumsi dan Lungguh kita ikut menghormati tamu yang hadir," kata Wali Kota Pasuruan Saifullah Yusuf (Gus Ipul) ketika mengikuti simulasi menyambut kedatangan tamu Haul KH Abdul Hamid, Rabu (13/9/2021). BiografiKH Abdul Hamid Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Pasuruan By Redaksi on November 3, 2020 KH. Abdul Hamid Lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah.Wafat 25 Desember 1985. Beliau adalah Kyai asal Pasuruan Jawa Timur Sejak kecil sekitar 12-13 tahun, Ayahandanya mengirimkan ke Pondok Kasingan, Rembang. .
  • 7sknfyl8r4.pages.dev/534
  • 7sknfyl8r4.pages.dev/95
  • 7sknfyl8r4.pages.dev/423
  • 7sknfyl8r4.pages.dev/541
  • 7sknfyl8r4.pages.dev/699
  • 7sknfyl8r4.pages.dev/146
  • 7sknfyl8r4.pages.dev/502
  • 7sknfyl8r4.pages.dev/468
  • 7sknfyl8r4.pages.dev/568
  • 7sknfyl8r4.pages.dev/662
  • 7sknfyl8r4.pages.dev/945
  • 7sknfyl8r4.pages.dev/116
  • 7sknfyl8r4.pages.dev/962
  • 7sknfyl8r4.pages.dev/184
  • 7sknfyl8r4.pages.dev/722
  • cucu kh abdul hamid pasuruan